Sandy'S. Law and Justice

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Saya adalah seorang pengajar di Fakultas Hukum Untag Semarang serta pengamat sosial dan hukum serta Advocate.

Selasa, 26 Juni 2012

DALUWARSA DALAM HUKUM


Daluwarsa Dalam Hukum

Oleh: Prof Achmad Ali (Guru Besar Ilmu Hukum Unhas)

Prof Achmad Ali

Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut.////

Di dalam Hukum Pidana, dikenal adanya keadaan "hapusnya" kewenangan melakukan proses pidana dan penuntutan pidana bagi para penegak hukum (verval van het recht tot strafvordering en van de straf).

Salah satu alasan untuk hapusnya kewenangan penegak hukum untuk memproses pidana seseorang adalah yang dikenal dengan istilah: daluwarsa (baca: "Hukum Pidana: karya pakar hukum pidana terkemuka Jan Remmelink). Dalam bahasa Belanda: Daluwarsa disebut "Verjaring", atau verjaring stermijn (jatuh tempo).

Dan daluwarsa ini diberlakukan baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pidana. Dalam Hukum Pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak hukum memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu. Di dalam kawasan Mahkamah Konstitusi pun, lembaga "daluwarsa" itu digunakan. Contohnya ketika Mahkamah Konstitusi menolak suatu gugatan judicial review karena dianggap sudah daluwarsa.

Menurut Prof MR A Pitlo (dalam bukunya: Bewijs en Verjaring naar her Netherlands Burgelijk Wetboek) landasan filsafat hukumnya, mengapa ada lembaga daluwarsa dalam hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana adalah antara lain: "Hukum pada hakikatnya bersifat menyesuaikan diri untuk menerima keadaan yang ada.

Setelah jangka waktu yang lama, hukum menyingkir terhadap suatu keadaan yang nyata, yang tidak dipersoalkan selama tenggang-waktu tertentu; tidak peduli apakah tidak dipersoalkannya karena tindak pidana tersebut belum diketahui hingga lewat waktu tertentu, ataupun karena tidak ada yang mengadukan dugaan terjadinya tindak pidana hingga lewatnya waktu tertentu.

Di dalam Hukum Pidana Indonesia, ketentuan tentang daluwarsa ditentukan dalam pasal 78 KUH Pidana yang bunyinya:

(1) Kewenangan memproses pidana hapus karena daluwarsa;
1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, daluwarsanya setelah enam tahun.
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun , daluwarsanya setelah dua belas tahun.
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, daluwarsanya setelah delapan belas tahun.

(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang waktu untuk daluwarsa di atas, dikurangi menjadi sepertiga.

Pasal 78 KUH Pidana itu diperkuat oleh yurisprudensi (putusan HR 3 Februari 1936) yang inti putusannya: Wewenang memproses pidana adalah wewenang negara untuk bertindak terhadap pelaku secara pidana, tanpa peduli alat negara manakah yang melakukannya.

Begitu suatu tenggang waktu menurut undang-undang berlaku, maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak dapat lagi melakukan proses hukum.

Kapan mulai terhitungnya tenggang waktu untuk daluwarsanya suatu tindak pidana? Menurut pasal 79 KUH Pidana, terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan. Kecuali untuk tindak pidana pemalsuan mata uang, dan untuk tindak pidana yang secara tegas (tidak boleh dianalogikan) dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333, serta untuk pelanggaran pasal 556 KUH Pidana.

Dengan kata lain, kecuali ketiga jenis tindak pidana yang dikecualikan itu, maka semua tindak pidana, berlaku ketentuan daluwarsa Pasal 78 dan awal pasal 79 bahwa daluwarsa terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan.

Contohnya, jika tindak pidana pembunuhan (pasal 338 kalau pembunuhan biasa dan pasal 340 kalau pembunuhan berencana, terhitung satu hari setelah pelaku membunuh, demikian juga contohnya; kalau tindak pidana pemalsuan surat, misalnya pemalsuan ijazah, maka terhitung sejak satu hari setelah ijazah palsu (yang ditentukan pasal 263 KUH Pidana) yang isinya:

(1)Setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika penggunaannya tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan ancaman pidana paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dengan demikian, jika tindak pidananya pemerkosaan, perhitungan daluwarsa dihitung sejak saat pemerkosaan (pasal 285 KUH Pidana) dilakukan pelaku; kalau mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUH Pidana), maka terhitung sejak pelaku melakukan pencurian itu.

Demikian juga untuk tindak pidana pemalsuan surat, termasuk ijazah tentunya (pasal 263 KUH Pidana), perhitungan daluwarsa terhitung sejak ijazah palsu itu mulai dibuat; bukan sejak ijazah palsu itu mulai digunakan.

Jadi contohnya dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, ijazah palsunya dibuat pada tahun 1990, maka daluwarsa jatuh pada 1990 tambah 12 (dua belas tahun) menjadi 2002. Artinya sejak tahun 2002, kasus tersebut tidak berwenang lagi diproses oleh penegak hukum.

Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut.

Apa konsekuensinya jika setelah daluwarsa, penegak hukum tetap memproses perkara itu dan tidak segera menghentikannya? Konsekuensi pertama, berarti penegak hukumnya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Konsekuensi kedua, penegak hukum dapat diadukan telah melakukan pelanggaran HAM tersangka, yang demi hukum, berhak diterapkannya ketentuan mengenai daluwarsa terhadap dirinya.

Ketentuan tentang daluwarsa ini memang jarang diketahui oleh masyarakat awam hukum maupun sebagian kalangan hukum, dan oleh karena itu menjadi kewajiban saya sebagai ilmuwan hukum untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat luas dan kalangan penegak hukum.

Penegak hukum harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan tanpa di bawah tekanan opini publik, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh James Fenimore Cooper: "It is besetting vice of democracies to substitute public opinion for law. This is the usual form in which masses of men exhibit their tyranny.

Artinya merupakan kepungan sifat buruk (euforia yang kebablasan) tentang demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik (atau tekanan demo massa yang sifatnya politis). Ini adalah wujud yang umum, di mana orang menunjukkan tirani pemaksaan mereka. (**)

1 komentar: